SABTU PAGI. Rumput di
halaman rumah makin tinggi, makin hijau, makin lebat, makin tak terurus, makin
tak terawat. Biasanya pemilik rumah datang saban bulan untuk membersihkan rumah
yang aku tempati. Tapi sudah tiga bulan ini, si janda pemilik rumah tak pernah
muncul lagi. Barangkali sedang sakit atau apa lah, aku tak tahu. Matahari tampak makin tinggi, menyinari bumi
dengan gagah perkasa, dengan sombong.
Rumah
dua lantai, tak bertetangga. Di situlah aku dan beberapa teman hidup berteduh
selama menyelesaikan kuliah. Jauh dari kesan mewah, di rumah sederhana
itulah para laki-laki muda yang sedang
bergelora dalam semua hal melepas letih, lelah, kesal, capai, hingga melepas
benih-benih mereka. Di dinding kokoh milik perempuan yang sering berganti kasih
atau pun di selembar tisu. Bahkan benih-benih itu kadang dielap dengan baju bekas, lalu dilempar begitu saja
ke pojok kamar hingga kering. Sebagian tumpah ke lantai, bersatu dengan debu
dan abu, bersatu dengan jelaga dan ampas kopi yang tumpah namun tak pernah
dibersihkan. Rumah yang tak pernah terkunci, sepanjang tahun, sering dimasuki
laki-laki dan perempuan, sering pula dimasuki pencuri. Pencuri barang berharga
hingga pencuri perhatian laki-laki muda yang selalu haus dengan perasan
keringat mahkluk berbuah dada.
Aku
mengisap rokok, entah puntung yang ke berapa. Hari ini rasanya begitu suntuk.
Aku baring di kasur butut, memandangi coretan
di dinding yang kubuat sendiri. Lantai kamar kotor oleh debu dan abu, sebagian
tampak bercak-bercak bening. Entah bekas apa, mungkin gara-gara perbuatan tadi
pagi dengan orang yang baru kukenal.
Televisi menyala, menyiarkan entah berita sampah yang
tak jelas sumbernya. Akhir-akhir ini televisi mulai terpolarisasi. Aku
mengganti-ganti kanal, tak ada yang menarik perhatian. Namun biar saja televisi
menyala, di dalam kotak kaca ada seorang
pewarta perempuan muda sedang membacakan berita. Kuhirup napas panjang, rokok
hampir padam. Berita yang disampaikan masih berkaitan dengan perseteruan
presiden dengan DPR. Padahal sudah setahun, hawa-hawa panas dua kubu masih
tetap terasa.
Sebagai
mahasiswa jurusan sastra, aku tak begitu ambil pusing. Aku hanya memandang
sederhana, semua yang terjadi di atas muka bumi adalah skenario Sang Kuasa. Aku
telah menjadi pemuja nativisme sejati setelah memasuki semester akhir, semester
yang seharusnya digunakan untuk skripsi, namun habis dengan pesta, buku bacaan,
dan petualangan cinta.
“Bram,
dimana?” Pesan singkat masuk yang baru kubaca setelah buang air. “Aku ke
tempatmu ya!” Tak lama, orang yang mengirimiku pesan, datang. Kami berbicara
singkat, sedikit saja. Pagi itu rumah sedang sepi, teman-teman kontrakan belum ada yang bangun tidur. Ah, kontrakan
culas! Orang itu masuk, langsung rebah di kasur butut. Pandanganku mengitar ke sekeliling, gorden ditutup, begitu pula dengan
pintu. Agar tak mencurigakan, alas kaki orang itu dibawa masuk ke kamar. Kudekati tamuku, basa-basi sebentar. Ada
peluk dan kecup, lalu berakhir dengan peluh, desah, dan bercak-bercak
bening-lengket di lantai.
Aku
kembali mengisap rokok. Rokok buatku gila dan ketagihan. Sehari tanpa rokok
lebih buruk daripada sepekan tanpa makan! Aku baru ingat dengan jadwal diskusi
sore ini, lalu segera berbenah, mandi, menggosok semua perkakas, mengecek ulang apakah ada bekas merah di
kulit leher dan tengkuk. Tak berganti pakaian, hanya menyemprotkan parfum
murah-palsu isi ulang, aku pergi meninggalkan rumah kontrakan.
Aku
menerawang jalan, mengingat-ingat kalimat yang diucapkan sang tamu
ketika berselingga denganku, “Istri mas lagi mens.” Ah, tak peduli lagi,
akhir-akhir ini semuanya jadi liar.
Oleh Bagus Mantre
Comments
Post a comment