Beberapa waktu
terakhir santer tersiar kabar pembunuhan seorang guru yang dilakukan oleh
muridnya sendiri. Hal itu barangkali merupakan klimaks dari pelbagai rentetan
kasus kekerasan yang terjadi di dunia pendidikan. Dimulai dari pemukulan
terhadap guru, hingga video buli yang dilakukan antarsiswa. Berita tentang
tindakan kekerasan tersebut penulis anggap sebagai fenomena gunung es. Terpapar
ke permukaan oleh banyaknya platform media sosial, namun masih membentuk siklus
yang tak terputus di dalamnya.
Menengok hal
tersebut, opini-opini pun bermunculan ke permukaan. Baik itu tentang cara-cara
kuratif, hingga preventif. Penulis tidak menganggap bahwa ada kesalahan di
dalam sistem pendidikan di masa kini, namun ada beberapa hal yang perlu menjadi
sorotan.
Pertama, masih
dominannya aspek kognitif di dalam menilai perkembangan peserta didik. Setiap
alumni Lembaga Pendidik dan Tenaga Kependidikan (LPTK) seperti FKIP, STKIP,
IKIP, dan sekolah akademi pasti memahami betul bahwa poin yang digunakan untuk
menilai perkembangan peserta didik terbagi ke dalam tiga bagian, yakni kognitif
(ranah kecerdasan intelektual), afektif (ranah kecerdasan emosional), dan
psikomotorik (ranah kecerdasan kinestetik). Ketiga poin ini muncul di dalam
penilaian yang ada di rapor.
Kemunculan tiga
poin penilaian ini sesungguhnya adalah suatu hal yang bagus. Jika dirunut ke
belakang, aspek afektif dan psikomotirk baru diimplementasikan di dalam
penilaian dimulai pada tahun 2004 ketika dimulainya Kurikulum Berbasis
Kompetensi (KBK). Bentuk penilaiaian kemudian disempurnakan kembali di dalam
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) pada tahun 2006 dan mencapai
pakemnya secara matang dengan diluncurkannya Kurikulum 2013 (K-13).
Jika di awal-awal
kemunculannya aspek afektif dan psikomotorik seolah jadi penghias rapor saja,
maka di dalam K-13 aspek penilaian ini mendapat perhatian serius. Bahkan, aspek
penilaian kognitif, afektif, dan psikomotorik mesti ada di dalam setiap proses
Kegiatan Belajar Mengajar (KBM). Penulis memahami betul upaya pemerintah, dalam
hal ini sebagai bagian dari pendidikan karakter, bahwa kemampuan seorang
peserta didik tidak cukup dilihat dari kecerdasan intelektualnya saja. Namun juga mesti memerhatikan aspek-aspek yang
lain. Menambahkan aspek afektif dan
psikomotorik, secara psikologis juga diharapkan akan mengubah orientasi peserta
didik terhadap nilai. Beberapa tahun lalu, di saat ujian nasional masih menjadi
momok yang menakutkan, tindakan mencontek ketika ujian begitu sulit
dilhilangkan. Hal itu disebabkan oleh ketakutan peserta didik jika tidak lulus.
Dengan adanya integrasi nilai dari hasil ujian nasional dan ujian sekolah, maka
ketakutan itu bisa diredam. Nah, begitu pula halnya dengan mengintegrasikan
kedua aspek penilaian tersebut, sehingga aspek kognitif bukanlah hal yang menjadi satu-satunya fokus yang
dikejar.
Lalu, bagaimana
kaitannya dengan tindakan buli dan kekerasan di sekolah? Untuk hal ini, penulis
berasumsi bahwa bentuk penilaian ini belum dilaksanakan dengan maksimum. Bukan
sekadar penilaian, namun lebih tepatnya adalah kompetensi afektif dan
psikomotor belum menjadi suatu hal yang prioritas di dalam dunia pendidikan
kita. Aspek afektif dan psikomotor pada dasarnya adalah kecerdasan yang dibutuhkan
oleh seorang anak agar bisa hidup di tengah-tengah masyarakat. Dengan
kecerdasan afektif, seorang peserta didik dituntut dan diajak untuk pandai
bersikap dan bertatakrama. Dengan kecerdasan psikomotor, seorang peserta didik
dituntut untuk bisa mandiri dan cekatan dalam melakukan suatu tugas ataupun
pekerjaan. Tindakan kekerasan yang
dilakukan oleh siswa, baik itu secara verbal(buli) maupun nonverbal adalah
bukti bahwa kedua aspek itu belum disentuh secara menyeluruh dan memang sudah
saatnya bagi semua tenaga pendidik, orang tua, serta masyarakat untuk
menguatkan dan menanamkan kembali aspek-aspek tersebut.
Kedua, minimnya
kerja sama antara sekolah, orang tua, dan masyarakat terutama dalam hal
pengawasan terhadap perkembangan peserta didik. Hal ini masih berkaitan dengan
hal sebelumnya. Upaya penanaman kompetensi afektif dan psikomotor tentu berbeda
dengan aspek kognitif. Jika bicara sikap, tentu ada upaya pemberian
keteladanan. Tak hanya itu, diperlukan juga tindakan pendisiplinan dan
penerapan aturan yang ketat namun membangun. Untuk hal ini, orang tua dan
masyarakat perlu memahami betul bahwa sekolah
(dalam hal ini adalah lembaga pendidikan) merupakan tempat belajar,
tempat membentuk karakter/ kepribadian seorang anak sehingga bisa diterima di
masyarakat. Dengan demikian, ada pola-pola tertentu yang pada hakikatnya sangat
perlu diterapkan di sekolah. Memberikan hukuman baik fisik maupun
nonfisik,memberikan sanksi sosial, dan sebagainya yang penulis asumsikan sangat
baik untuk dilakukan di lembaga pendidikan. Dengan demikian, peserta didik akan
memahami betul bahwa tempatnya belajar tidaklah sama dengan lingkungan rumah
dan lingkungan masyarakat, ketika si anak bebas melakukan sekehendaknya. Di
dalam hal ini pula, kerja sama dan koordinasi ketiga unsur di atas sangat
dibutuhkan. Di awal kegiatan pembelajaran, sekolah dan tenaga pendidik mesti
menyosialisasikan dan membuat kesepekatan berkaitan dengan pola didik dan asuh
di sekolah. Bahkan, bukan merupakan suatu hal yang salah jika di dalam
kesepakatan itu juga tercantum hukuman bagi pihak yang melanggar kesepakatan,
yakni dalam hal ini adalah peserta didik.
Dua hal di atas
penulis anggap merupakan solusi jangka pendek yang bisa segera dilakukan. Tentu
harus dipahami bersama bahwa keberhasilan seorang peserta didik tidak bisa
dilepaskan dari campur tangan sekolah, orang tua, dan masyarakat dan memang
upaya kita bersama agar ketiga lembaga tersebut bisa memaksimumkan fungsinya.
Mendidik seorang anak bukan saja tentang bagaimana agar dia memeroleh nilai yang
tinggi dan mendapat ranking di kelas, melainkan bagaimana kita meramalkan masa depan negeri ini: ingin
dipimpin dan diteruskan oleh generasi seperti apa.
Singkawang, 6 Februari 2018
Haries Pribady
Dosen STKIP Singkawang
Image Credit: Kompas.com
Rujukan
http://megapolitan.kompas.com/read/2017/07/17/15274181/ini-kronologi-bullying-siswi-smp-di-thamrin-city
Comments
Post a comment