“Hembusan angin malam waktu itu
Bawa lari kudalam dekapanmu
Kau usap luka di sekujur tubuh ini
Sembunyilah-sembunyi ucapmu
Tampak jelas rasa takut di wajahmu
Saat petugas datang mencariku
Lonteku terima kasih, atas pertolonganmu di
malam itu
Lonteku dekat padaku, mari kita lanjutkan
cerita hari esok”
Petikan di atas adalah lagu Iwan Fals yang
diberi tajuk Lonte, lagu yang selalu didengarkan Bram di kamar sumpeknya. Bagi
Bram, pemilihan Lonte sebagai tajuk lagu populer bukan hal yang mudah dan
gampang. Perlu ketelanjangan dan keberanian dalam mengungkap realitas. Sebagai
bentuk ekspresi seni dan representasi lingkungan, lagu Lonte telah melakukan
tugasnya dengan apik, menunjukkan pada umat bahwa masih ada lonte di
sekelilingnya dan tentu saja masih ada
yang memilih pekerjaan sebagai lonte untuk mempertahankan eksistensi sebagai
seorang manusia.
Akhir-akhir ini Bram memerhatikan kalau lonte sedang anyar diwartakan di pelbagai media
massa, baik yang cetak maupun
elektronik. Mulai dari praktik lonte di kamar kos hingga tersiarnya kabar
praktik lonte dengan memanfaatkan media sosial sebagai alat promosi dan
menjadikan artis-artis muda sebagai lontenya. Sebagai manusia yang lahir dan
besar di abad 21, apakah praktik lonte ini perlu dibahas kembali? Mengingat
bahwa manusia telah sejak zaman lampau, menjual diri dan mengeksplorasi
keelokan tubuhnya untuk ditukar dengan kebutuhan hidup. Apakah praktik lonte
ini perlu dibahas kembali? Mengingat bahwa privasi setiap manusia dalam
melakukan hubungan seksual mulai diatur terlampau jauh oleh negara, nilai-nilai
sekularisme sedang tumbuh dengan subur, dan dogma-dogma agama yang hingga saat
ini paling getol melarang praktik lonte mulai kehilangan tajinya.
Ada beberapa hal yang mesti
dibahas dalam hal ini. Pertama,
bagaimanakah konsep lonte yang terjadi di Indonesia? Jamak diketahui
bahwa lonte adalah perilaku menjajakan diri kepada orang lain yang membutuhkan
kepuasan seksual, baik laki-laki maupun perempuan. Perlu ditekankan bahwa lonte
hanya merujuk pada dua hal utama yaitu menjajakan diri (sale) dan aktivitas
seksual (sexual activity). Berdasarkan
konsep ini, perlu diuraikan lebih jauh konsep tentang lonte. Semakin diperhatikan, praktik lonte ini tak
jauh beda dengan pasar: tempat yang ada penjual dan pembeli serta da barang
yang diperdagangkan. Dalam hal ini, lonte adalah barang yang diperdagangkan.
Penjualnya adalah mucikari sedangkan pembelinya adalah, kadang disebut, pria
hidung belang. Walaupun ada diantaranya
yang selfsell, yakni lonte yang merangkap sebagai penjual dirinya sendiri tanpa
melalui perantara mucikari. Tentu saja
ada perbedaan harga yang signifikan antara lonte selfsell dengan lonte yang
telah terorganisasi di bawah manajemen seorang mucikari.
Tak layak diceritakan dalam
renungan Bram ini, hal-hal yang berkaitan dengan deskripsi pekerjaan yang
mesti dilakukan oleh seorang lonte. Namun perlu diketahui istilah-istilah
sederhana yang lazim digunakan dalam praktik lonte. Untuk pelayanan biasanya
para lonte mematok harga berdasar waktu yang dibagi dua, yakni shorttime dan
longtime. Selain itu, kompetensi seorang
lonte mendapatkan testimone oleh orang-orang yang telah “bermain” dengannya. Misalnya HJ: 80, face: 85, FJ: 75, BJ: 75.
Istilah-istilah tersebut dapat dengan mudah ditemukan di forum daring (daring,
dalam jaringan: sebagai istilah untuk menggantikan online)jual-beli lonte
Kedua, siapa yang bertanggung
jawab atas maraknya praktik lonte? Ada
beberapa faktor yang memicu munculnya praktik lonte. Namun yang paling
dijadikan sebab utama adalah masalah ekonomi. Keadaan ekonomi lemah akan
membuat manusia berusaha keras untuk keluar dari zona aman dan mengatasi
kemiskinannya. Ya, barangkali hanya
dengan modal badan dan lendir, sesuatu yang sangat murah dan mudah, praktik
lonte laris manis hingga saat ini. Perlu dipahami bersama, praktik lonte ini
adalah sesuatu yang ada di lingkungan
masyarakat, pelakunya hidup di tengah masyarakat namun ada beberapa nilai yang
bertentangan dengan praktik lonte ini. Diantaranya adalah nilai-nilai agama dan moral
yang selama ini mengatur masyarakat
dalam hukum tak tertulis.
Berkaitan dengan nilai-nilai
tersebut, beberapa tahun terakhir
terjadi beberapa hal yang berkaitan dengan praktik lonte di Indonesia.
Tak lama sebelum ini, lokalisasi Dolly di Surabaya ditutup. Namun setelahnya
bergulir wacana pemprov DKI Jakarta hendak membangun lokalisasi di Jakarta. Pemerintah akhir-akhir ini mulai masuk ke
bagian ini. Praktik lonte dianggap dan teranggap sebagai sampah masyarakat.
Agamawan tampaknya tak mampu membendung praktik ini, atas sebab itu
pemerintah lah yang harus tegas
mengambil alih.
Comments
Post a Comment